Firman Allah S.w.t:
”Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”. (QS Al Hujurat: 13).
Hubungan sosial antar sesama ini merupakan kehendak Allah S.w.t yang kesemuanya dalam bentuk, cara, dan peraturan yang diatur sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Masyarakat yang harmonis, dipenuhi rasa kebersamaan dan kekeluargaan pastilah menjadi harapan kita, dan sudahlah pasti bahwa hanyalah dengan aturan Allah dan Rasul-Nya akan terwujud ikatan hubungan masyarakat yang kuat dalam jalinan kasih sayang di antara kaum muslim, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh masyarakat kaum Anshar dan Muhajirin.
Sayyidina Rasulullah Nabi Muhammad S.a.w bersabda: “Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki hubungan di antara sesama kalian, karena sesungguhnya Allah memperbaiki hubungan di antara orang-orang yang beriman pada hari kiamat.”. (HR Hakim dari Anas bin Malik R.a).
Di dalam Al Qur'an, Allah S.w.t berfirman:
Ketahuilah saudaraku, bahwa dalam hidup bermasyarakat (berinteraksi sosial) sehari-hari, tidaklah mudah bagi seseorang untuk mendapatkan kerelaan orang lain sehingga dapat hidup bersama-sama mereka dengan penuh kasih sayang, sementara kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat merupakan kondisi ideal yang semestinya harus terus diusahakan. Maka perlulah upaya kita untuk menggapai keridha'an Allah S.w.t dalam bergaul dengan sesama, yang tiada jalan lain selain apa yang telah disyariatkan dan dituntun oleh Rasul-Nya S.a.w. Allah Ta’ala berfirman:
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”. (QS Al-Ahzab: 21).
Untuk membahas apa yang menjadi judul dari tulisan ini tentunya tak akan cukup dengan bahasan yang singkat, namun apa yang hendak kami sampaikan ini adalah hanyalah 'sedikit' dari samudra tuntunan Rasulullah S.a.w, terkhusus dalam hidup bermasyarakat. Semoga kita semua dapat menjadi lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya, dengan terus membenahi diri, mengikuti dan mencontoh budi pekerti Nabi kita tercinta (S.a.w). Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang celaka”. (HR Hakim).
Mudah-mudahan kita semua termasuk orang-orang yang beruntung seperti termaktub dalam hadits tersebut, Aamiin.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: ”Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling mendengki dan janganlah kalian saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam.”. (Shahih Bukhari 5612).
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.". (QS Al Hujurat: 13).
Dalam hidup bermasyarakat, wajar jika terjadi 'gesekan-gesekan', akan tetapi permasalahan yang muncul itu tidak boleh jadi pemicu munculnya keretakan dan permusuhan. Jika terjadi gesekan dalam kehidupan bermasyarakat maka diantara satu dengan yang lain haruslah menghindari terjadinya caci maki karena hal itu akan memperburuk hubungan masing-masing. Itulah mengapa dosa yang akibat dari cacian itu dipikul oleh orang yang lebih dahulu memulai. Sebagaimana pada hadist yang diriwayatkan dari Sayyidina Abu Hurairah R.a, bahwa Rasul S.a.w bersabda:
”Apabila dua orang terlibat saling mencaci, dosa cacian itu dipikul oleh yang memulai, selama yang dicaci tidak membalas melampaui batas.”. (HR Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk, biarlah ia yang menanggungnya.“. (HR Tirmidzi 2722).
Imam Qurtubi memberikan penjelasan tentang firman Allah S.w.t: “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati” (QS [49]: 12); Allah memberikan perumpamaan mengenai kejelekan ghibah dengan memakan daging orang mati karena orang mati tidak mungkin mengetahui kalau dagingnya sedang dimakan, seperti saat ia hidup tidak mengetahui bahwa dirinya sedang digunjingkan.
Baginda Rasulullah S.a.w bersabda:
Artinya: “Mengejek seorang mukmin adalah perbuatan fasik sedangkan membunuhnya termasuk kekafiran.“.
“Janganlah engkau menghina seorang pun.”.
Setelah Rasul S.a.w menyampaikan wasiat ini, sahabat ini tidak pernah lagi menghina seorang pun, walau pada seorang budak bahkan hewan, Abu Jurayy berkata: “Aku tidak pernah lagi menghina seorangpun setelah itu, baik kepada orang yang merdeka, seorang budak, seekor unta maupun domba.”.
Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.”. (QS Al Hujurat: 11).
Berhati-hatilah menjaga lisan dan hati ini daripada menghina atau melecehkan orang lain, terkadang apa yang kita benci malah itu baik untuk kita dan begitu juga sebaliknya sesuatu yang kita suka padahal itu tidak ada kebaikannya untuk kita. Belajarlah hidup sehat dan islami dengan tidak menyakiti pada sesama, saling menghormati, rukun dan damai.
Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah S.a.w:
“Wahai Rasulullah, si fulanah sering shalat malam dan puasa, namun lisannya pernah (atau sering) menyakiti tetangganya“. Rasulullah S.a.w bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka.”. (HR Al Hakim).
Imam al-Ghazali R.a menasehatkan: ”Jika engkau melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia karena mungkin satu hari nanti dia akan insyaf dan bertaubat atas kesalahannya.”. Sesungguhnya, jika kita benar-benar takut kepada Allah, maka hati dan lisan ini akan selalu terjaga dari mengotori dengan cacian makian kepada orang lain, bahkan kepada orang yang belum insyaf sekalipun.
Rasulullah S.a.w bersabda:
”Seorang mukmin bukanlah seorang pengumpat, pengutuk, yang suka berkata keji dan berkata kotor”. (HR Turmudzi).
Janganlah merusak hubungan di antara sesama dengan mengadu domba, membicarakan keburukannya dan hal-hal lain yang menyebabkan perpecahan, karena hal itu termasuk dosa yang amat besar di sisi Allah S.w.t. Baginda Nabi Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam bersabda:
Artinya: ”Orang yang paling dibenci oleh Allah di antara kalian adalah yang selalu mengadu domba di antara orang-orang yang saling kasih sayang, yang membuat perpecahan di antara saudara-saudara.”.
Di dalam Islam, telah dijelaskan mengenai haramnya mengadu domba, yaitu memindahkan kata-kata antara para manusia dengan tujuan hendak membuat perpecahan di antara mereka, membuat mereka saling bermusuhan, merusak (hubungan kedekatan atau persaudaraan) dan dengan memfitnah mereka. Sabda Rasulullah S.a.w:
Artinya: ”Tidak akan masuk surga seorang pengadu domba.”.
Dari Hudzaifah R.a berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: ”Tidak dapat masuk syurga seorang yang gemar mengadu domba.”. (Muttafaq 'alaih).
Dari Ibnu Mas'ud R.a, bahwasanya Nabi S.a.w bersabda: "Tahukah engkau semua, apakah kedustaan besar itu? Yaitu Namimah atau banyak bicara adu domba antara para manusia.". (Riwayat Muslim).
Catatan: Al'adhha dengan fathahnya 'ain muhmalah dan sukunnya dhad mu'jamah dan dengan ha' menurut wazan Alwajhu. Ada yang mengatakan Al'idhatu dengan kasrahnya 'ain dan fathahnya dhad mu'jamah menurut wazan Al'idatu, artinya ialah kedustaan serta kebohongan besar. Menurut riwayat pertama, maka al'adhhu adalah mashdar, dikatakan: 'adhahahu 'adhhan artinya melemparnya dengan kedustaan atau pengadudombaan.
Bertindak Lembut dan Saling Bersangka Baik
Dari Jarir bin Abdullah R.a, berkata: Saya mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: "Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut, maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan.". (HR Muslim).
Hendaknya kita berprasangka baik kepada orang muslim dan jangan sampai berprasangka buruk terhadap seorang pun dari mereka. Baginda Nabi Muhammad S.a.w bersabda:
Dalam hadis lain Beliau S.a.w besabda: “Berbaik sangka itu terpuji meskipun sangkaannya itu salah dan berburuk sangka itu buruk dan berdosa, meskipun sangkaannya itu benar“.
Al-Allamah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad berkata: "Puncak berprasangka baik kepada kaum muslimin adalah engkau tidak meyakini keburukan dalam perbuatan maupun ucapan mereka sedikit pun.".
Prasangka baik terhadap makhluk bukti kemuliaan jiwa dan buahnya adalah khusnul khotimah dalam keadaan bangga. ~ Qaul Rijalus Sholih.
Prasangka buruk merupakan kunci perpecahan di antara dua orang atau pihak, dengan menghindari prasangka buruk terhadap muslim lainnya maka pergaulan akan tetap utuh. Hendaklah kita menafsirkan perkataan teman kita dengan penafsiran yang paling baik, jika kita menemukan perkataan atau sikap teman kita yang tidak sesuai dengan hati kita. Kecuali jika kita yakin bahwa teman kita melakukan hal kejelekan, maka hendaklah kita menasehati mereka dengan cara yang baik.
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”. (QS al-Hujurat [49]: 12).
Bagi yang mendamba kesejahteraan, kedamaian dan kerukunan, baik di lingkungan masyarakat luas maupun lingkup yang lebih kecil dalam rumah tangga, maka tak ada pilihan, ia harus membuang dan menjauhi prasangka buruk.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Aalihi wa Shahbihi wa Salam bersabda:
Artinya: “Seorang muslim bagi muslim yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain dan seperti satu badan jika ada satu anggota tubuh yang mengeluh, maka seluruh badan ikut merasakan panasnya.“.
Salafunasshalihin (R.a) berkata: “Manusia ada yang diuji dan ada yang diselamatkan, oleh karena itu kasihanilah orang-orang yang teruji, dan bersyukurlah kepada Allah S.w.t atas keselamatan itu“. (Risalah Muawanah Imamul Haddad).
Keutamaan orang yang memberi kebahagiaan pada orang lain dan menolong mengangkat kesulitan orang lain, disebutkan dalam hadits; Rasulullah S.a.w bersabda:
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (masjid Nabawi) selama sebulan penuh.”. (HR Thabrani).
Saudaraku, segala karunia yang diberikan Allah S.w.t kepada kita merupakan sarana untuk menggapai ridha-Nya. Sayangnya, sering kali kita menyia-nyiakan kesempatan itu. Menolong seseorang sesuai kemampuan kita sebenarnya tidak sulit untuk dilakukan, akan tetapi akhir zaman ini semakin sedikit manusia yang peduli kepada orang lain. Padahal, dengan menolong dan mewujudkan hajat orang lain, Allah akan menolong dan mewujudkan hajatnya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar R.a; bahwa Rasulullah Sa.w bersabda:
“Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya.”. (HR Bukhari dan Muslim).
Artinya: “Tidaklah sempurna keimanan dari kalian hingga ia menginginkan untuk saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya”.
Di antara tanda dari keimanan adalah jika seorang telah melihat orang beriman lainnya seakan-akan sebagai dirinya sendiri, sehingga ia pun mencintai mereka, dimana ketika perasaan ini telah ada di antara kaum muslimin maka pastilah mereka akan saling mengharapkan ketenangan, ketentraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan segala kebaikan untuk saudara muslim lainnya sebagaimana ia mencintai segala kebaikan itu tercurah bagi dirinya, dan sebaliknya tak ingin keburukan menimpa saudaranya sebagaimana ia juga tak ingin itu terjadi pada dirinya. (Baca juga: Persaudaraan Yang Tulus).
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Asy-syaikhan dari Anas R.a, Nabi S.a.w bersabda:
Artinya: “Tidak akan beriman di antara kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri“. (HR Bukhari dan Muslim).
Jangan sampai merugikan orang lain, sebisa mungkin kita berusaha menjadi orang yang dapat memberi manfaat kepada orang lain, memberi bantuan kepada orang lain, menghormati hak-hak sesama, Insya Allah kita akan selamat, tentram dan dijauhkan dari hal-hal yang tak disukai.
Dari Jabir R.a bercerita, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.“. (HR Ahmad dan ath-Thabrani).
“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya“. (HR Bukhari 10 dan Muslim 40).
Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Al Imam Yahya bin Mu’adz R.a berpesan: “Jikalau engkau tidak bisa memberi manfaat bagi umat Islam, maka janganlah engkau mencelakai mereka, jika engkau tidak bisa menghibur mereka, maka janganlah menyakiti mereka, jika engkau tidak bisa menggembirakan mereka, maka janganlah menyusahkan mereka, jika engkau tidak bisa memuji mereka, maka janganlah engkau menghina mereka“.
Dari Abu Hurairah R.a, Rasulullah S.a.w bersabda: “Jadilah orang wara’ maka kamu akan jadi orang yang paling giat beribadah, jadilah orang qana’ah maka kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur, cintailah orang lain sperti kami mencintari dirimu niscaya kamu akan jadi orang mukmin sejati, berbuat baiklah dengan tetangga niscaya kamu akan menjadi muslim sejati, kurangi tertawa, sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.”. (Risalah Al-Qusyairiyyah).
“Siapa pun yang yang menutupi aib saudara muslimnya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah melindungi mereka yang sedang melindungi saudara muslimnya.“.
Catatan: Selain dengan kata “Musliman”, dalam redaksi hadits lain menggunakan kata “Alaa Muslim“.
Yang dimaksud menutupi adalah menutupi cela saudara muslim lainnya dengan tidak menggunjingnya atau membuka aib-aibnya, termasuk juga menutupi badannya (menutupi auratnya bila tersingkap). Yang demikian berlaku bagi orang yang belum dikenal akan kejelekannya (kejahatannya), bila sudah maka dianjurkan dilaporkan keberadaannya pada seorang penguasa (wali). Dan yang dimaksud “Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat” adalah Allah tidak akan membuka kejelekan-kejelekan dan dosa-dosanya. (Tuhfah al-Ahwaadzi IV/574).
Imam al-Qadhi berkata “Dalam hadits di atas dapat memberi kesan atas dua pengertian: (1) Menutupi maksiat-maksiat, aib-aib yang telah dilakukan saudara muslim lainnya dan tidak membeberkannya pada orang lain. (2) Tidak mencari-cari, meneliti kesalahan orang lain serta tidak menuturkannya“. (Syarh an-Nawaawi ala Muslim 16/143).
Dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
“Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.”. (Shahih Muslim).
Apabila suatu ketika saudara muslim kita terjatuh dalam kemaksiatan, bukanlah kemudian bahwa kita boleh menyebarkan rahasia-rahasia yang telah diketahui, sesungguhnya di antara sifat dermawan itu adalah orang yang persahabatannya tetap utuh serta menjaga rahasia kawannya, baik dalam keadaan damai atau berselisih.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”. (HR.Bukhari).
Sayyidina Ali bin Abi Thalib K.w memberi kita nasehat: “Ketika engkau melihat aib orang lain, maka ingatlah barangkali engkau pernah berbuat aib yang lebih besar darinya, dan kalaupun tidak (yakni aibmu lebih kecil), mungkin saja Allah telah mengampuni aib (besar) orang itu dan belum mengampuni aibmu yang kecil“.
Telah bersabda Rasulullah S.a.w: “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barangsiapa yang Allah mencari aibnya, niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya”. (HR At-Tirmidzi dan lainnya).
Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (mencari-cari kejelekan/kekurangan orang) dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri (agar kemudian membenahi diri). Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya. Demikian nasihat dari Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi.
Hadis riwayat Abu Hurairah R.a, beliau berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah S.a.w bersabda: "Semua umatku akan ditutupi segala kesalahannya kecuali orang-orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan. Masuk dalam kategori berbuat maksiat terang-terangan adalah bila seorang berbuat dosa di malam hari kemudian Allah telah menutupi dosanya, lalu dia berkata (kepada temannya): Hai Fulan! Tadi malam aku telah berbuat ini dan itu. Allah telah menutupi dosanya ketika di malam hari sehingga ia bermalam dalam keadaan ditutupi dosanya, kemudian di pagi hari ia sendiri menyingkap tirai penutup Allah dari dirinya". (Shahih Muslim 5306).
Syekh Abu Bakar bin Salim memberi kita sebuah nasehat: “Orang yang arif dan bijak adalah orang yang memandang aib-aibnya diri sendiri, sedangkan orang yang lalai adalah orang yang menyoroti dan sibuk dengan aib-aib orang lain“.
Kita semua tahu bahwa kita adalah insan, yang selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan ciri ketuhanan (al-khuluq), dalam diri kita juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan instan. Setiap saat terjadi tarik menarik antara keduanya, jika kemenangan di pihak nafsu, manusia akan turun derajat dan moralnya, sedangkan jika hati nurani mampu mengungguli nafsu, orang tersebut akan naik derajatnya, moralnya terpuji dan melebihi makhluk Tuhan lainnya. Menyadari hal tersebut maka perlu juga kita ingat kembali, dimana salah satu dari makna insan itu sendiri adalah 'lupa' atau lalai, sebuah tabiat yang melekat pada setiap insan biasa, yang tak lepas dari kekeliruan (tidak maksum). Disinilah kemudian pentingnya seorang muslim dengan muslim lainnya untuk saling nasehat-menasehati. Allah S.w.t berfirman dalam surat al-‘Ashr:
Artina: “Demi waktu, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.“.
Dari Ibn Mas’ud R.a, beliau berkata:
“Barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebenaran maka terimalah kebenaran itu darinya, meskipun ia adalah orang yang jauh dan dibenci. Dan barangsiapa yang datang kepadamu dengan kebathilan maka tolaklah, meskipun ia adalah orang yang dicintai dan dekat.”.
Maka marilah kita bersama-sama untuk terus saling ingat-mengingatkan, saling menasehati, memberi masukan agar menuju kepada kebaikan, bahkan walaupun hanya satu ayat saja, yang kesemuanya semakin mendekatkan kita kepada Allah dan Rasul-Nya, menjaga agar kita tetap teguh kepada ajaran Islam, menjauhi larangan-Nya serta mentaati seluruh perintah-Nya. Jika secara pribadi kita lemah memahami Islam, marilah kita mendatangi majelis para guru, bergabung dan berkumpul bersama orang-orang sholeh, dan dengan istiqamah menghadiri, mendengarkan taklim, pengajian para Habaib, Ustadz dan Kyai, atau siapapun mereka yang 'Alim (berilmu agama) di dalam kerabat maupun sahabat kita (dalam hal ini, tentunya dari kalangan aswaja, bermadzhab dan bertasawwuf).
Dari Abu Umamah R.a berkata, bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: ”Sesungguhnya Luqman al-Hakim berkata kepada puteranya: 'Wahai anakku! Hendaklah engkau senantiasa duduk bersama para ulama dan dengarkanlah perkataan orang-orang bijak'. Sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang tandus dengan hujan yang lebat.”. (HR Thabrani).
Firman Allah S.w.t:
Artinya: ”Dan (tetaplah) memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”. (QS Adz-Dzariyat 51: 55).
Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
Artinya: “Agama adalah nasehat”.
Apabila ada suatu pesan/nasihat penting yang telah didapat sepulang majelis (yakni yang diberikan oleh guru), jangan lupa untuk meneruskannya kepada kerabat, teman dan sahabat, jadilah 'saluran' curahan berkah yang menghantarkan kebaikan bagi muslim lainnya. Rasulullah S.a.w bersabda:
”Hendaklah orang yang hadir di antara kamu sekalian, menyampaikan kepada orang yang tidak hadir”.
Dari Ibnu Mas’ud R.a berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada sebuah kebaikan maka baginya seperti pahala pelakunya“. (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah R.a, bahwasanya Rasulullah S.a.w bersabda: “Barang siapa mengajak kepada suatu kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun pahala-pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.”. (HR Muslim).
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib K.w berkata: "Kezhaliman di muka bumi ini akan selalu ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.".
Seorang mukmin tentunya telah mengetahui, bahwa menganjurkan manusia agar berbuat yang baik dan berusaha mencegahnya dari melakukan kejahatan (amar ma'ruf & nahi munkar) itu wajib sesuai kemampuannya. Ia juga mengetahui bahwa orang yang meninggalkan kewajiban ini, akan menerima siksa yang berat dari Allah S.w.t, sebagaimana sabda Rasulullah S.a.w:
“Demi Allah, hendaklah kamu beramar ma'ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan azab kepadamu, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Allah tidak akan mengabulkan doamu.“. (HR at-Tirmidzi, Hadits ini Hasan).
Seorang mukmin, tatkala ia menyeru kepada kebaikan dan melarang kejahatan, ia telah tahu pasti, bahwa kemungkaran akan menimbulkan kerusakan besar, dan sebaliknya, kebaikan akan menimbulkan yang lebih baik lagi.
Rasulullah S.a.w bersabda: “Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan", para Sahabat bertanya, "Bagaimana kalau terpaksa untuk duduk dan mengobrol?", Rasulullah menjawab, "Bila terpaksa, maka tunaikan semua hak jalan". Mereka bertanya, "Apa haknya wahai Rasulullah?", Beliau S.a.w menjawab: "Menundukkan pandangan mata, menjauhkan bahaya, menjawab salam, amar makruf dan nahi mungkar“. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam memberi peringatan, saran atau nasehat, maka sampaikanlah dengan elegan, damai, penuh kesejukan dan menyenangkan, tidak lantas dengan menekan, menakut-nakuti, apalagi sampai memaksa-maksa.
Dari Anas R.a, beliau berkata bahwa Rasulullah S.a.w bersabda: "Berikanlah kemudahan dan jangan mempersukarkan. Berilah kegembiraan (khabar gembira) dan jangan menyebabkan orang lari.". (Muttafaq 'alaih).
Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki menasehatkan: “Amar ma'ruf nahi munkar harus dilakukan dengan sikap bijak, lembut dan bertahap“.
Syiarkan dan tebarkanlah kebaikan di manapun dan kapanpun, semoga Allah memberi hidayah dan taufiq-Nya kepada kita semua.
Tidak Mempersulit Urusan Kaum Muslim dan Larangan Berbuat Zhalim
Rasul S.a.w pernah berdoa: "Ya Allah, barangsiapa menguasai salah satu urusan umatku, lalu menyusahkan mereka, maka berilah kesusahan padanya.". (Riwayat Muslim dari 'Aisyah R.a).
Firman Allah Ta’ala:
“Jika kamu berbuat baik, kebaikan itu bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”. (QS Al Isra: 7).
Saudaraku, dengan menolong mewujudkan hajat orang lain, Allah S.w.t akan menolong dan mewujudkan pula segala hajat-hajatnya, ini telah dijamin.. baca selengkapnya!