Siapa pendiri Jakarta Islamic School bernama Fifi Proklawati. Namanya lengkapnya, Fifi Proklawati Jubile. Wanita kelahiran sama dengan hari kemerdekaan Indonesia, tepatnya pukul 10 malam pada 17 Agustus di tahun 1970. Oleh karena itu pula ia diberi nama “Proklawati”.
Fifi memiliki latar belakang pendidikan yang bertolak belakang dengan apa yang dikerjakannya sekarang. Ia justru pernah disekolahkan di sekolah kristen Pintu Air, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Mengapa bisa sampai di sekolah sana.
Pengusaha Wanita
Usut punya usut, kedua orang tuanya khawatir akan masa depan Fifi. Kala itu narkoba sedang gila- gilanya menjangkit anak muda. Dan, saat itu kebanyakan mereka yang kena justru mereka dari sekolah negeri.
Tambahan lain kala itu belum ada sekolah islam modern yang bermutu dan unggulan. Adanya pondok pesantren justru letaknya
juga kebanyakan di daerah bukan di Jakarta. Mungkin hal inilah yang membuatnya
kelak mendirikan Jakarta Islamic School.
Sejak kelas 1 sekolah dasar gemar membaca buku. Buku apa saja dibacanya. Kecepatan membacanya luar biasa, Fifi mampu membaca 300 halaman per satu jam.
Pantaslah jika Fifi termasuk anak yang kreatif, ada saja idenya termasuk idenya, termasuk “mengerjai” gurunya dengan berteriak “Bu, ada yang ulang tahun.” Jadinya jam yang seharusnya pelajaran diganti acara makan kue ultah yang dibeli dari hasil “saweran” teman-temannya yang kaya.
Itulah polah Fifi kecil yang suka bikin “gemes” orang tua dan guru. Saat remaja ia memiliki cita- cita dari kebanyakan wanita pada umumnya. Dia tak mau hanya menghabiskan hidupnya dengan bekerja, menikah, punya anak, punya cucu, dan meninggal tanpa hasil karya apapun.
“Habis itu saya terus mau ngapain?” itu yang ada dibenaknya. Saat kuliah, di Trisakti, ia aktif di kerohanian Islam kampus. Dari situlah ia mulai mengenal Islam sesungguhnya dan sebenarnya dan akhirnya memutuskan untuk konsisten dengan Islam sebagai jalan hidupnya.
Ia memutuskan untuk mengenakan hijab. Sejak kuliah dia sudah hidup mandiri dari berdagang. Usahnya berjualan burger disisihkan sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari dan beramal. Ia juga pernah menjadi pengajar bimbingan belajar.
Dari sini pula Fifi tahu bahwa guru bimbel hanya dapat 40% dari uang lesnya sedangkan 60% masuk ke bimbelnya. Padahal yang capek adalah guru bimbelnya. Ia kemudian mendirikan bimbel sendiri bernama “Fifi College”.
Bimbelnya pun menyebar hingga lima tempat. Ini semua dicapai bahkan sebelum lulus kuliah. Setelah menikah, ia harus ikut suaminya yang bersekolah di luar negeri yaitu ke Australia. Di sana, ia kembali berbisnis kali ini dengan membuka katering khusus masakan Indonesia.
Dari situlah ia mendapatkan uang belanja tambahan. Ketika sang suami bersekolah lagi ke Malaysia, Fifi juga harus ikut ke sana. Kala itu ia sudah punya anak usia playgroup. Di Malaysia, ada sebuah aturan untuk anak diusia playgroup, yaitu sang anak harus lulus ujian toiletris.
Mendirikan Jakarta Islamic School
Sebuah syarat untuk masuk sekolah, namun anaknya belum juga lulus tes ini. Tak mau kehilangan akal akhirnya ia mengajukan diri untuk menjadi pengajar di sekolah tersebut dengan catatan ia juga boleh membawa anaknya, dengan begitu ia bisa mendampingi sang anak saat akan ke toilet.
Itulah Fifi masih dengan kratifitas dan ide- idenya yang diluar kebiasaan. Awalnya sekolah menolak gagasan Fifi namun karena Fifi terus berusaha meyakinkan, sekolah pun menyetujuinya dan masalah pun selesai.
Ia sangat beruntung bisa mengajar di sekolah itu karena banyak ilmu dan pengalaman yang bisa ia dapat. Ada sebuah kesempaan bisnis baru. Fifi melihat prospekn bahwa kebanyakan wanita Malaysia bekerja untuk membantu suami melunasi hutang pada pemerintah yaitu hutang pendidikan dan KPR.
Oleh karena itu anak-anak mereka selalu dititipkan ke jasa penitipan anak atau Nursery. Bahkan yang memiliki anak sampai 7 pun semuanya dititpkan. Dari bayi hingga anak-anak semua seperti disekap di sebuah ruangan.
Dengan anak yang berjumlah 50- 100, semunya dimasukan ke satu rumah yang dijaga hanya 3 atau 4 orang. Mereka bertugas menyuapi, memandikan, dan mengajar. Ia menemukan peluang bisnis dan berhenti dari mengajar.
Fifi menyewa sebuah rumah yang lebih besar dan ia mendapat rumah yang dahulunya dipakai sebagai TK sehingga sudah terdapat mainan jungkat-jungkit yang tertanam di tanah. Dia kemudian menata rumahnya sedemikian rupa sehingga kondusif untuk anak-anak.
Tentu ada yang beda dari bisnis nursery karyanya ini. Dia membatasi anak yang ditampung hanya 12 orang. Dan, jika dititipkan di tempatnya orang tua tak perlu mengajari Al- Quran setiba di rumah. Anak- anak sudah diajari di tempat penitipan miliknya.
Dari sinilah ia belajar tentang bagaimana mengedukasi anak-anak yang memiliki keragaman sifat mereka. Manfaat yang diperolehnya adalah anaknya sendiri mendapat banyak teman dan pandai bergaul.
Dia sendiri menjadi tetantang untuk selalu membaca buku tentang psikologi anak. Setiba di Indonesia, ia menyekolahkan sang anak di SDIT Jakarta. Namun sayang sistem pendidikan Indonesia terbilang kalah jauh dibanding saat di luar negeri.
Fifi merasa anak-anaknya lebih pintar dan kreatif saat TK dibanding saat SD. Ia bertekat mendirikan sekolah sendiri. Fifi ingin membangun sekolah sesuai dengan apa yang didapatnya selama tinggal di Asutralia, Malaysia, dan Singapura.
Dia juga ingin menambahkan pelajaran agama Islam secara khusus di dalamnya. Gayung pun bersambut. Sekolah yang diidrikan Fifi banyak peminatnya. Namun Fifi membatasi muridnya hanya 16 siswa tiap kelas dengan didampingi 2 guru. Hal ini agar suasan belajar di dalam lebih fokus dan efektif serta hasilnya maksimal.
Sekolah ini kemudian diberi nama Jakarta Islamic School. Uniknya lagi disini siswa tidak dibebani dengan PR lagi. Dia sebenarnya tidak menargetkan materi dari bisnis ini karena niatnya semula hanya memberikan yang terbaik untuk anaknya sendiri.
Bahkan dia mengaku bahwa mendapatkan lebih dari yang ia harapkan dulu. Anaknya sekarang mendapat teman yang banyak, ia memperoleh pengalaman lebih dan juga tentu materi lebih serta networking yang lebih luas.