Pengusaha minuman bubble, Muhammad Syakir, hasrat terbesarnya adalah menjadi wirausahawan di masa depan. Pria asli Makassar, 14 Desember 1974 ini, memulai hasratnya semenjak bangku sekolah. Hal pertama yang dilakukannya ialah membantu sang kakak berbisnis studio foto.
Sambil berkuliah diambilnya kursus fotografi. Tetapi tidak lekas membuanya jadi puas hingga membuka sendiri. Sejak masuk kuliah, dibukalah sebuah toko klontong sederhan depan rumah.
Pengusaha Miliaran
Dia adalah sosok apa itu bekerja keras. Tidak pernah berhenti bersemangat berbisnis. Ia setidaknya sudah pernah menjajal empat bisnis berbeda. Ketika harus kuliah sampai ke Jakarta, menyusul kakaknya disana, Syakir membuka toko klontong depan rumah di Tanjung Priok tahun 2000 -an.
Semangat untuk berdagang pertama kali mebawanya berlebihan. Dia membeli aneka barang tanpa melihat apa kebutuhan pasar. Hasilnya, toko klontongnya hanya bertahan 3 bulanan. Merasa tidak berkembang layaklah bisnis tersebut dia tutup.
Uniknya selain tidak bisa membaca apa kebutuhan masyarakat. Syakir juga tidak sadar akan adanya konsep tanggal kadaluwarsa.
“Saya tidak menyadari di antara barang-barang itu, ada yang memiliki masa kedaluwarsa,” kenang Syakir.
Gagal, pekerjaan Syakir cuma bisa membantu- bantu bisnis kakaknya. Selepas berkuliah di Universitas Ibnu Choldun, pria asli Bugi ini tak lantas melanjutkan berdagang, ingin mencari satu pengalaman lewat bekerja. Mendaftar menjadi wartawan foto di Harian Republika di tahun 2002.
Delapan tahun bekerja menjadi wartawan tak membuat hasrat itu hilang. Masih membuka bisnis kecil- kecilan sambil ia bekerja.Ayah dua anak ini mengendus paluang baru. Lewat bengkel motor dicobanya bekerja sambil berbisnis (lagi).
Ini hanya pekerjaan sampingan. Bengkel didirikan tahun 2006 ini, dijalankan selepas meliput kejadian di luar. Sepulang bekerja disempatkannya membali barang kebutuhan di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta. “Jadi, kalau pulang, banyak tentengan di motor,” ujar Syakir.
Sayang, bisnis sampingan kembali gagal karena satu faktor sepele. Lagi- lagi Syakir tidak bisa membaca kebutuhan masyarakat. Ketika ia membeli barang- barang bengkel yang kualitas original. Masyarakat justru mencari barang kualitas dua.
“Saya memasok suku cadang orisinal, sementara konsumen banyak mencari barang kualitas nomor dua alias kw,” jelasnya. Bulan ke enam usaha itu ditutup tanpa kejelasan.
Untung karena dia bisa melunasi hutang bank, uang modal bengel itu dilunasi lewat gajinya. Menjadi pegawai sebenarnya menghasilkan. Cuma menurut pengusaha minuman bubble ini, menjadi pegawai menguras waktunya bersama keluarga. Menjadi pengusaha seolah menjadi solusi akhir.
Kondisi ini memaksa otak berputar bisnis apalagi ya. Tahun 2010, ia akhirnya, berhenti menjadi pegawai memilih pengusaha. Modal uang pesangon diputarkan di bisnis sangon. Bertanam kayu sangon di kawasan Purwakarta bersama seorang patner.
Tapi ujung- ujungnya malah ditipu. Kesimpulan dicapainya berbisnis tidak boleh jauh dari rumah. Dia harus bisa mengatur bisnis itu sendiri. Uang pesangon masih bersisa. Itu dijadikannya usaha lain yaitu usaha warung makan.
Bisnis warteg atau warung tegal dimulainya penuh semangat. Kali ini dia punya strategi khusus. Dimulai merencanakan target pasarnya. Kemudian dimasakan aneka masakan enak. Selepas itu, Syakir membagi- bagikan selebaran brosur di jalanan.
Sayang, ternyata salah sasaran, pembeli malah kebanyakan dari kuli bangunan. Ini dirasanya tidak mencukupi jaringannya. Apalagi modal usaha telah menipis, akhirnya dia memutuskan tutup. Tidak ada kata berputus asa soal berbisnis. Ini hasratnya dibawa sampai sampai bisa sukses.
Melihat sang suami lesu, istrinya, Wahyuni mengajukan ide bagaimana jika berbisnis waralaba. Menjadi mitra bisnis dari bisnis sukses. Dia mengajak Syakir berbisnis minuman bubble. Bersemangat kembali, dijualnya motor satu- satunya buat modal.
Terkumpul uang Rp.6 juta hasil berjualan motor Rp.4 juta dan ditambah menjual barang lain. Dibukanya minuman bubble itu di rumahnya, di kawasan Pondok Cabe, Depok. Beruntung karena saat itu di wilayahnya masih jarang orang berjualan bubble.
Penjualan es bubble -nya digilai pelanggan bahkan sampai bisa mengantri- antri. Sebuah gerai depan Alfamart menjadi saksi bangkitnya pengusaha ini. Berjalan waktu, Syakir belajar cepat bahwa sirup dan krim memakan labanya. Dia mencoba mencari alternatif agar bisa lebih untung.
Melalui pencarian internet ditemukan produsen bubble. Dia langsung menawari kerja sama. Kali ini selain berjualan bubble juga berjualan bubuknya. Semenjak punya suplier resmi maka resmi waralabanya tidak lagi terikat.
Memang sejak awal sudah ada perasaan bahwa bisnis ini terlalu tergantung pusat. “Lama- lama saya berpikir, kalau usaha ini harus ketergantungan bahan baku dari pusat,” jelas singkat. Itulah kenapa dia begitu ngotot.
Resmi Syakir menjadi pengecer bubuk minuman ini. Menelisik besarnya kesempatan, dia berharap bisa menjadi produsen. Namun, pertama- tama yang dilakukannya adalah mencari teman bekerja sama. Sosok yang bisa meracik bubuk minuman.
Syakir menawari kerja sama berbentuk makloon. Dia menemukan orang itu lewat internet lagi. “Saya cari orang yang bisa buat produk ini,” kenang dia. Inilah cikal bakal bisnisnya yang utama. Konsep makloon berarti patner membuat bubuk minumannya.
Sementara dirinya menjadi distributor tunggal produknya. Yang mana, berarti patner tidak bisa menjual ke orang lain selain kepadanya. Perjalanan bisnis ini meningkat sampai berdirilah CV. Jakarta Powder Drink.
Dibawanya bisnis ini sampai ke Kota Makassar. Ia cukup puas atas jalan bisnisnya, sampai, pada tahun kedua ada masalah antara dia dan patnernya tersebut. Singkatnya sang patner menjual produknya juga ke orang lain.
Merasa ditipu olehnya, berhentilah bekerja sama keduanya dan menyisakan bubuk- bubuk minuman bertumpuk. Karena tak mau merugi dan berharap bisa balik modal. Dibawalah bisnis tersebut kembali ke bisnisnya di Jakarta. Jadilah cuma ada satu bisnis yang dijalani oleh Syakir di Jakarta.
Menjadi Pengusaha Minuman
Harapan terbesar dia hanyalah kapan bisa berproduksi sendiri. Belajar pengalaman buruknya mulailah dia belajar sendiri. Syakir menemukan cara tepat berproduksi sendiri. Lagi- lagi dicarilah orang yang bisa membuat bubuk minuman.
Bedanya kali ini, ia hanya memilih buat belajar kepada orang itu, selama kurang lebih enam bulanan. Sambil belajar diajukan pinjaman ke Bank tak kurang Rp.400 juta. Uang tersebut dibelikan mesin percik bahan minuman, bahan baku, dan kebutuhan lain di tahun 2012.
Awal 2013, dia baru bisa berproduksi sendiri, hasilnya beda dari produk yang pernah dijualnya. Ini minuman bisa dibuat dingin atau panas. Rasa bubuknya juga diklaim lebih enak karena kualitas terjamin. Menekuni ini memang bukan perkara mudah kalau bukan passion.
Waktu berjalan malah membawa M. Syakir semakin berjaya berbisnis sendiri. Masalah tidak kunjung berhenti menempa hidupnya. Dari remaja, bujang, hingga akhirnya menikah dikarunai dua orang putri. Syakir yang sudah berumur 40 tahun tinggal mereguk kerja kerasnya.
Kata- kata bijak pun ia ramu, “Saya tak mau sekadar menjadi pedagang, tapi ingin menjadi pengusaha,” ujarnya. Jika pedagang akan berhenti walau sekejap. Tidak buat penguasaha yang selalu akan berusaha.
“Pedagang biasanya hanya cari keuntungan, tapi tidak membuka peluang bagi orang lain untuk mendapatkan untung,” kata dia.
Pedagang akan memilih berhenti jika menemukan resiko kedepan. Pengusaha akan terus melangkah meski dibantu oleh hutang atau apapun.
Total CV. Jakarta Powder Drink telah memiliki 40 varian rasa. Ada yang rasa vanila, capucino, mokacino, tiramisu, teh hijau, kopi, kopi hazelnut, dll. Soal kendala adalah mengawali peralihan antara dia dan produk lamanya.
Tentu pelanggan bisa tau perbedaan mencolok diantara keduanya. Syakir sudah siap akan hal tersebut. Lewat mempertajam rasanya menjadi lebih pulen. Jadilah tidak ada hambatan berarti ketika ia mulai ganti.
Jikalau produk powder drink lain hanya cocok dingin. Miliknya bisa disajikan panas atau dingin. Meski nanti dituang panas tetap rasanya tak kalah kalau dingin. Pabrik pun didirikan di Perumahan Wisma Mas, Pondok Cabe, Tangerang.
Jika produk lain seharga Rp.100.000, maka, Syakir percaya diri membandrol Rp.65.000 sampai Rp.75.000 lebih murah. Rata- rata pelanggan produknya ada kafe, hotel, pengusaha minuman bubble. Pabrik itu bisa berproduksi sampai 6 ton bubuk minuman.
Melalui 9 distributor dijualnya ke seluruh penjuru Indonesia. Sistem penjualan beli putus minimal 500kg, distributor tersebar hingga ke Medan, Palembang, Pekanbaru, Tegal, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar.
Profil penjualan memang tidak ambil besar dari distributor. Cuma saja karena bermain jumlah membuatnya tetap bisa untung besar.
“Saya belajar dari para CEO perusahaan besar yang pernah saya temui ketika jadi wartawan,” ucap dia.
Pria asli Bugis ini tak lantas berpuas hati meski bisnisnya miliaran. Hanya saja pandangannya berbeda yakni ke luar negeri. Ada hasrat mendirikan kafe sekelas Stabucks. Prinsipnya kenapa orang luas bisa, kenapa kita dalam negeri tidak bisa?
Dari segi variasi sebenarnya Jakarta Powder Drink siap bukan kafe. Namun, dia dan istrinya masih menggodok konsepnya. Masih menentukan makanan apa bisa ditaruh di etalase kafenya.