Pengusaha Fadly tengah merasakan fenoman cireng. Kisah wirausaha asal Bandung, Jawa Barat, yang dapat kita contoh. Pengusaha muda bernama Fadly Alfiansyah, sosok dibalik makanan cireng Kamsia itu.
Produk terkenal yang digandrungi masyarakat. Usahanya dimulai dengan menerima pesanan dari tetangga dan saudara. Lalu bermodal 3 juta membuka booth di depan minimarket pada Desember 2011. Ia saat itu tanpa pikir panjang langsung berbisnis.
Dalam pikirannya adalah bisnis kuliner khas Bandung yang sedang naik daun. Mulai dari pasaran lingkungan sekitar Fadly melebarkan sayap. Jajanan berbahan aci dicampur tepung terigu itu dibuatnya sendiri.
Awalnya karena semakin banyak permintaan maka jadilah ia yakin pada produknya. Secara tak sadar wirausahawan pemula ini telah membangun produknya sendiri. Meski saat itu ia mengaku belum membuat variasi; cuma cireng biasa ungkapnya.
Setelah itu rasanya bekembang jadi 8 aneka rasa: yaitu rasa bakso, sosis, ayam, sapi pedas, keju bahkan rasa oncom. Kesemuanya dimasukan dalam satu bendera rasa Cireng Kamsia. Kala itu Fadly mengaku bisa menjual 150 buah senilai Rp.150.000 per- hari.
Pada awalnya, dia mengaku hanya fokus berjualan saja tanpa embel- embel franchise. Hingga 2012, tercatat ia telah memiliki 6 booth yang tersebar di beberapa titik di kota Bandung. Wirausahawan pemula ini sukses mengantongi omzet 7- 8 juta per- bulan.
Barulah September 2012, ia memanfaatkan sistem delivery order, dimana ia membekukan cirengnya untuk dijual. Dengan hal tersebut pasaran 6 cabangnya semakin luas. Meski tidak menggunakan sistem franchise talenta bisnisnya sudah mengaggumkan.
Cireng Kamsia sejak itu berjualan bentuk frozen atau beku, yang mana dijual secara mentahan. Bisnisnya semakin besar dimana omzetnya semakin besar pula. Tapi ternyata besar omzet tak membuat selamanya bisnis ini menguntungkan.
Meski sudah punya cabang atau booth sendiri, Fadly saat itu tak mampu mengawasi jalannya cabang meski SOP untuk produk sudah dijalankan. Namanya berbisnis auto atau kamu cukup mempekerjakan orang kesulitan itu pasti ada.
Dia mengaku kurang paham bagaimana mengelola di manajemen penjualannya, bukan produknya itu. Tak cuma berjualan cireng matang tapi juga cireng beku. Fadly mulai mencari- cari bagaimana menjual yang baik. Nah, dimulailah ia menggunakan sistem reseller pada produk Cireng Kamsia.
Awal 2013, ia merelakan jumlah booth berkurang agar bisa lebih ekonomis. Entah sudah berapa saat itu booth dimilikinya, namun, Fadly nekat mengurangi dan akhirnya sistem berjualan bercabang dihentikan. Total Fadly mencoba sistem dagang berbeda yaitu sistem reseller.
Setiap bungkus dibuatnya berisi lima potong. Visinya kala itu menjadikan cireng kudapan disenangi hingga jadi ikon Kota Bandung. Bahkan kalau bisa go internasional ujarnya kala itu pada sebuah artikel di situs Bisnis.com.
Cireng Kamsia beku dijualnya melalui sistem reseller dan saat itu total ada 5 orang reseller yang siap menjualkan. Melalui sistem ini Fadly berharap cukup fokus menjual saja, dimana ia tak perlu fokus pada cireng yang matang. Jual mentahan saja pikirnya kala itu bersama Cireng Kamsianya.
“Saya ingin cireng dapat menjadi makanan yang keren dan tidak diremehkan karena dimakan oleh seluruh masyarakat di berbagai kota dan negara. Sistem reseller dapat menjadi salah satu caranya,” ujarnya.
April 2013, sosoknya diperhitungkan sebagai seorang wirausahawan sukses, dan akhirnya ia bisa menjadi salah satu UKM yang bisa ikut pameran. Di Mirza, sebuah pameran bertema makanan halal dikerjakannya untuk menambah sukses.
Pameran yang diselenggarakan pemerintah Jawa Barat tersebut banyak memberi dia ilmu. Bukti terbaru meyakinkannya bahwa Cireng Kamsia digemari setiap orang. Pada saat itu ia sudah lah punya produk beku yang terbungkus standar internasional.
Semuanya itu ludes diborong oleh mereka yang datang. Barang contoh itu menjadi pembukan untuk aneka pesanan sampai 100 pack per- harinya. Memanfaatkan jaringan reseller yang telah membengkak sampai ke penjuru Indonesia.
Bisnis Semua Umur
Pada saat itu ternyata cumalah sukses sementara karena Fadly membidik konsumen di segala usia. Ternyata saat itu pembelian produk sejenis miliknya didominasi umur 25- 35 tahun. Hasilnya ia akhirnya kehilangan 50% pendapatan.
Dalam pemikiran kami, kemungkinan reseller Fadly saat itu, ialah mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Jadilah mereka tidak bisa menjual produk- produknya untuk teman- temannya sendiri. Tak begitu populer dikalangan anak sekolah ternyata justru menjadi kelemahan.
Mungkin karena produk cireng beku yang tak bisa langsung makan. Dengan tekat masih membara membawanya tetap bertahan berbisnis. Ketika Cireng Kamsia mendapatkan penghargaan dari Pangan Award Kementrian Perdagangan sebagai produk inovasi pada pasar makanan ringan.
Saat itu pula lah kepercayaan akan produk Cireng Kamsia kembali. Secara tak langsung ia telah membranding produknya kembali. Tak mau terhanyut seiring perjalanan kebangkitan Fadly mulai merencana target pasarnya.
Proses penjualan akhirnya merambah sistem online. Fokusnya disempitkan di kawasan Bandung dulu. Ia menyebut strategi bisnisnya ialah membangun brandnya di kawasan lokal. Menjadikan Cireng Kamsia jadi cemilah wajib bagi mereka orang Bandung.
Setiap harinya Fadly bisa memproduksi 300 pack dari ukuran 30kg- 40kg aci dimana total karyawannya ada 14 orang. Dari berbisnis cireng siap makan, Fadly total fokus pada cireng goreng yang mentah atau beku.
Merambah produk lain, kemudian ada produk lain selain cireng goreng atau Cireng Krauk, yaitu cireng yang dimasak dengan kuah. Memang terdengar aneh tapi memang itulah kenyataanya. Caranya ialah cireng beku plus bumbu terpisaha. Jadi secara rasanya sudah ia sesuaika dulu resepnya.
Reseller total telah berkembang jadi 20 reseller di Bandung, lalu ada 15 agen yang mana juga punya reseller dibawahnya. Jika reseller di Bandung ia bawahi sendiri. Di kota lain, kelima belas agen tersebut lah pemimpinnya.
Mereka akan sibuk mengambil stok untuk diedarkan ke reseller. Setidaknya para agen akan mengambil 60 pack langsung tiap harinya. Sedari awal ia mengaku menjual cireng bekunya seharga 20.000 mungkin jika dilihat harga berbeda dengan cireng lain.
Mungkin memang tidak difokuskan untuk semua orang tapi Fadly tak gentar. Dia tetap menjual seharga itu meski mungkin cireng lain lebih murah. Ia pun mencoba memilih untuk mencari- cari pasa menengah atas.
Caranya ialah ia masuk ke pasar swalayan atau pasar ritel modern. “Meskipun saya memiliki reseller dan agen, tetapi ujung tombak bisnis ini adalah pasar ritel moderen atau pengembangan brand image agar lebih mudah sampai ke tangan konsumen atau pasar,” jelasnya.
“Reseller dan agen adalah jaringan yang membantu penyampaian informasi.” ujarnya penuh percaya diri.
Website resmi: www.cirengkamsia.com