Siapa menyangka bahwa pedagang asongan dan koran sukses. Dia jadi pengusaha sukses berkat bekerja keras. Keterbatasan tidak membuatnya menyerah sampai akhir. Pemuda tersebut bernama lengkap Ayis Rochma, kuliah jurusan Sastra Jawa, Universitas Indonesia.
Dia bukanlah anak orang berkecukupan. Ayis berjualan sepulang kuliah. Tepatnya dia menjadi pedagang asongan dan koran di Stasiun Depok, Jawa Barat. Anak rantau asal Gorontalo, kemudian merantau pada 2007 silam, kemudian dia ditampung di Yayasan Bina Insan Mandiri, Depok.
Merantau ke Ibu Kota Jakarta
Ia tipikal tidak berpuas diri. Banyak hal ingin digenggam dan dikerja salam hidup. Ditambah biaya kuliah makin mahal dirasa.
“Saya cuma anak kampung, mau sampai kapan juga ya tetap anak kampung, cuma bedanya sekarang sudah tidak kampungan. Hehehe”
Semua bermula dia berambisis berkuliah di Universitas Indonesia. Berlanjut ingin menjadi pengusaha sukses kelak. Bukan anak orang berkecukupan, bayangkan ayahnya hanyalah kuli bangunan, senentara ibu membantu kerja serabutan.
Di kampung, pagi harinya, sebelum matahari terbit dia sudah sibuk mengerjakan pekerjaan. Pemuda itu bergegas memenjual kue keliling kampung. Ayis sudah melakoni pekerjaan semenjak usia 5 tahun. Dia berkata kalau tidak berjualan tidak sekolah.
Uang berjualan kemudian dipakai kebutuhan sehari- hari dan bayar sekolah. Pasar sudah jadi rumah keduanya. Masa kecilnya dihabiskan berjualan di pasar. Beranjak remaja, dia memiliki pekerjaan baru berjualan kresek. Enam tahun sudah dia berjualan kresek keliling pasar.
Dia lantas memilih menjadi penjual peralatan rumah tangga. Ayis juga berjualan souvenir seperti bros dan lainnya ketika pulang sekolah. Ketika anak lain, di dalam tasnya berisikan buku dan peralatan tulis menulis, maka isinya tas Ayis malah dagangan.
Orang tuanya memang hidup jauh dari berkecukupan. Maka dia bekerja keras mandiri bahkan semenjak masih kecil. Dia tidak mau bermalas- malasan. Bahkan ketika waktunya dia diseharusnya bermain bersama teman sepantaran.
Dia tidak mau diam. Sebab bila dia tidak bekerja maka, sudah pastilah, esok harinya sekeluarga tidak akan menikmati sebungkus nasi. Ketika sekolah menengah atas dia memutuskan merantau. Dia hijrah sampai ke Ibu Kota. Keluarga sempat menentang disebabkan tidak memiliki biaya transport.
Ayah- ibu belum merelakan anaknya merantau ke Jakarta. Tapi Ayis telah memiliki cita- cita. Belum pernah ke Jakarta, Ayis kebingungan ketika menginjakan kakinya pertama kali. Bingung, sebab dia tak punya satupun kerabat tinggal di sini.
Begitu menamatkan sekolah menengah pertama dia berangkat ke Jakarta. Ayis berangkat bermodalkan 3 juta rupiah. Tanpa memiliki sanak- saudara lantas bagaimana dia bertahan. Dia berjualan koran dari satu terminal ke terminal lain. Dia sudah mendapatkan label anak jalanan atau gelandangan.
Dia bercerita bagaimana dibantu kakak- kakak mahasiswa UI. Nampaknya mereka tertarik mendengar semangat Ayis merantau. Berkat soal- soal ujian mereka ajarkan, Ayis mampu diterima menjadi salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, Jakarta.
Ayis tidak berhenti sekedar mendapat gelar anak jalanan kuliah. Dia bersama satu sahabatnya memulai usaha.