Menjadi buruh pabrik dan pengusaha. Kampung kue merupakan perwujudan pemberdayaan. Ia pernah dipecat perusahaan. Itu tak membuat Choirul Mahpuduah atau Bu Irul terpuruk. Ia pun menjadi sosok penggagas kampung kue yang terkenal itu.
Dia pernah diliput media asing loh. Ternyata usut punya usut, bukan cuma soal itu, ternyata sosok Irul merupakan satu aktifis buruh. Apa yang dilakoninya sekarang tidak jauh dari buruh dan kaki lima. Terus gimana sih ceritanya? Berikut kisahnya:
Buruh Pabrik Jadi Pengusaha
Jauh sebelum dia pernah bekerja menjadi buruh pabrik. Apes karena harus menerima PHK sepihak. Irul bercerita kenapa perusahaan memecat dia. Tahun 1990, dia bekerja menjadi buruh aneka macam di wilayah Rungkut, Surabaya.
Namun tahun 1993 akhir, diberhentikan oleh perusahaan sepihak dan semua karena dia terlalu vokal. Yah, seperti penulis jelaskan dia adalah seorang aktifis. Dia sering menyerukan hak- hak buruh wanita.
Dia menyerukan soal cuit haid dan sebagainya. Irul juga dikenal “profokator” teman- teman buat berdemo. Irul memang getol mengajak buruh bersuara atas hak mereka. Perasaan kecewa berat ketika ia sadar bahwa dirinya dipecat.
Dia merasa yang dituntut telah sesuai peraturan pemerintah. Awal tahun 1994, ia bersama tiga orang kawan mengajukan tuntutan pengadilan. Karena tidak punya uang Irul dan kawan sempat bingung.
Irul lantas mengajukan biaya pengadilan dibebankan ke negara. Hakim sempat menolak hal tersebut. Tetapi berkat kegigihan Irul dan kawan, dibantu pihak wartawan, masyarakat luas dan lembaga swadaya; mereka akhirnya menang.
Irul dan kawan bisa bersuara di peradilan secara gratis. Meski biaya keadilan ditanggu negara tidak semudah itu. Mereka buta akan hukum perburuhan. Untuk itulah, ia aktif belajar sendiri tentang UU buruh dan lain hal soal peradilan.
Dia banyak dibantu para aktifis, LBH, atau wartawan. Kala itu dia sendiri apalagi “musuhnya” punya 6 orang pengacara. Beryukur karena padah akhirnya gugatan tersebut bisa dimenangkan oleh hakim.
Memenangkan tuntutan berarti pemecatan Irul tidak sah. Meski perusahaan menuntut ulang atau banding, sampai Mahkamah Agung butuh waktu sepuluh tahun. Berkat tuntutan dipenuhi oleh Hakim maka Irul bisa bekerja kembali.
Selain itu perusahaan diwajibkan membayar ganti rugi Rp.3 juta. Sayang, kenyataanya, dia tidak bisa bekerja kembali karena berbagai dalih. Uang ganti rugi tiga juta itu juga keluar beberapa tahun kemudian.
Dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Menurutnya ini contoh bagi sesama buruh agar tetap berjuang. Ia juga berharap mereka tidak takut maju ke pengadilan. Untung berkat jaringan aktifis buruh miliknya. Dia tak perlu menganggur berlama- lama. Irul bisa bekerja kembali.
Bukan bekerja menjadi buruh, tapi ikut aktif di seminar buruh, advokasi, membantu buruh lain. Dari sanalah ada uang transport, uang saku, dan sebagainya. Hidup di dunia pergerakan buruh, Irul masih seorang wanita biasa, hidup bersosial dengan ibu- ibu lain di lingkungan sekitar.
Ia tinggal di kawasan sederhana di kawasan Rungkut Lor Gang 2, Surabaya. Di kampung itu kebanyakan berisi pekerja kasar atau kelas menengah bawah. Suatu hari, ia melihat 5orang ibu tengah menjajakan kue.
Mereka berjualan kue cukup lama yakni lima tahun. Sayang tidak kunjung berhasil menjual banyak. Iseng, Irul lantas memanggil mereka diajak berdiskusi. Dibukalah topik tentang usaha apa yang mereka bisa kembangkan di kampung.
Menurut pribadi di kampung yang mayoritas pendatang ini, tersimpan satu potensi tersembunyi. Dalam diskusi tersebut mengerucut tiga hal bisa dilakukan: Membuat aneka kue buat dijual, membuka usaha jahitan, dan membuat sabun cair. Bersama 9 orang ibu dibukalah jahitan khusu jahit celana pendek.
Sayang, setelah berjalan beberapa waktu, usaha jahitan tidak berjalan seperti diharapkan. Setelah memikir ulang apa masalahnya. Dia memutuskan melanjutkan ke bisnis keduanya. Dan mereka mulai membuat aneka kue buat dijajakan.
Cuma berbekal pengetahuan pas- pasan langsung beraksi. Irul mengumpulkan ibu- ibu lewat pos kamling. Seolah aktifis buruh ini tengah mengajak berdemo. Padahal dia cuma mau membahasa masalah ini.
Dia memang tengah berdemo di pos kamling. Padahal mengajak berdemo memasak. Pertama kali sekali, Irul cuma membuat jajanan sederhana, yakni jajanan tahu crispy. Ternyata warga kampung antusias apalagi ini hal baru. Tahu crispy terlihat sederhana namun menghasilkan.
Modal dikeluarkannya pun tidak terlalu besar. Ia mulai merayu warga terutama ibu- ibunya. Mereka menanggapi ide Irul antusias. Ini membuat Irul jadi lebih semangat lagi. Pemahanam penting bagi bisnis kue miliknya. Dia sadar bahwa jajanan sederhan penting.
Terutama bagi para warga pendatang Ibu Kota. Kalau tak sempat sarapan, tentu kue ringan bisa menjadi solusi melewati jalanan Jakarta. Kue bisa dijadikan pengganjal perut sebalum bekerja. Para ibu mulai rajin menjual kue buatan sendiri di depan rumah.
Irul juga tidak mau kalah. Jualan kaki lima dilakoninya sebagai bentuk penyemangat. Diawali dari berjualan di depan pagar sekolah. Tepatnya sekolah di sekitar Kelurahan Rungkut Surabaya. Kue buatanya cukup laku disana.
Sayang, ketika Ibu Tri Rismaharini menjadi Kepala Dinas Kebersihan, dia harus menatap kecewa. Pasalnya kebijakan membersihkan trotoar berimbas di bisnis kecil Irul. Program lahan hijau Risma mengganggu karir yang baru dirintis.
“Kesal juga rasanya, pelanggan sudah banyak, kemudian dirobak,” luap Irul.
Tetapi ia mengambil hikmah saja peristiwa tersebut. Tidak bisa berjualan tidak membuat menyerah. Apalagi dia menjadi contoh bagi ibu- ibu sekampung. Karena sudah pelanggan bahkan sampai rumah dicari. Mereka mencari Irul sampai ke rumah.
Karena pesanan membludak, tidak segan Irul mengajak ibu- ibu tetangga buat membantu menyetok kue.Semua dilakoni baik pesanan lama atau dadakan. Pagi buta sudah memasak kue, Irul sudah dibantu ibu- ibu kampung mengerjakan kue- kue tersebut.
Mulai dari jam 02:30 sampai 06:00 WIB dimana pelanggan tetap para penjual kue. Dari pedagang kue kaki lima kini menjadi juragan kue.
Hidup Irul berubah 180 derajat dari sebelumnya. Mereka pedagang kue keliling menyebarkan kue buatan Irul sampai pelosok.
“Lumayan, sekarang keuntungan per- hari mencapai Rp.20 juta,” ujar Irul.
Ada pula yang cuma dititipkan di Pasar Soponyono, Rungkut. Ditambah pesanan dari acara besar seperti hal pernikahan. Memang bisnis aneka kue ini menggiurkan apalagi dikerjakan gotong royong.
Namun, kamu jangan membayangkan akan semudah diatas. Awal sekali, Irul kesusahan membangun jiwa wirausaha dihati mereka. Apalagi ditambah uang modal tidak mencukupi. Sebagian besar warga kampung itu pegawai kelas menengah kebawah.
Ibu- ibu mengeluh kesulitan mencari modal. Irul lantas mengajak mereka patungan Rp.50.000 setiap orang. Uang tersebut digunakan untuk siapa saja yang butuh modal. Beberapa saat akan ada ibu yang meminjam uang tersebut. Ibu itu meminjam Rp.100.000 buat membeli wajan katanya.
Selepas wajan terbeli hingga berproduksi. Selepas uang terkumpul dikembalikan lagi dan lagi dipinjam ibu lain. Begitu seterusnya modal berputar- putar ditengah. Pada akhirnya, usaha tersebut malah jadi satu koperasi bersama. Irul sempat bersedih ketika pinjaman bank ditolak.
Karena kebanyakan bukan warga asli.
“Tidak punya KTP Surabaya, dan disebut tidak punya agunan,” kenang Irul. Cara lain dilakukan olehnya ialah lewat PT. HM Sampoerna Tbk, berupa pelatihan pengembangan usaha Sampoerna. Atau mendapat satu sponsor dari PT. Bogasari; Irul agaknya bisa bernafas lega.
Berkat bantuan sana- sini, mereka berhasil sedikit demi sedikit mengangkat nama Kampung Kue. Sudah berbentuk koperasi modal pun lancar masuk. Sampai mereka sudah punya modal uanng Rp.20 juta.
Uang tersebut diberdayakan termasuk lewat berdirinya sebuah perpustakaan. Ia bercerita semua berawal di tahun 2004. Dia pernah diperkenalkan kepada pengurus perpustakan keliling milik perusahaan tertentu.
Melalui pembicara serius ternyata si pengurus berminat. Ia berencana membantu warga kampung. Caranya ialah lewat meminjamkan aneka buku bacaan. Kesempatan itu tidak diabaikan seorang Irul. Bahkan selain buku anak- anak, adapula buku ibu- ibu.
Idenya ialah membangun kamus resep mereka. Hasilnya mereka semakin variatif soal jenis kue. Perpustakan keliling tersebut selalu dibanjiri ibu- ibu ketika datang waktunya. Mereka dibiarkan bereksperimen sendiri. Aneka kue dibuat menurut keinginan masing- masing.
Mereka juga saling mengevaluasi hasil eksperimen. Semua penuh optimisme, warga kampung semakin bergairah berjualan. Irul bersama 60 orang anggota semakin mantap menatap.
Apalagi semenjak ada bantuan Taman Bacaan Masyarakat dari sosok Walikota Surabaya sendiri. Yah, Tri Rismaharini kembali “berbenturan” dengan sosok Irul. Warga kampung mendapatkan harapan baru menambah penghasilan.
Disisi lain, lewat adanya TBM juga ikut mencerdaskan anak- anak perkampungan ini. Satu pos kampling telah disulap oleh Pemkot dijadikan taman bacaan. Disana juga dipasangi akses internet membuat lebih mudah.
Kalau sebelumnya para ibu akan datang sesekali (ketika mobil perpustakaan datang). Kini, mereka sudah bisa datang kapan saja bebas membaca buku resep. Mereka juga bisa membaca resep lewat browsing di internet.
Alhasil Kampung Kue semakin bersemangat untuk membuat aneka resep baru. Kampung mereka mulai dikenal luas oleh masyarakat luas. Banyak warga kampung lain datang memesan kue. Warga Kampung Kue pun tidak perlu berjualan di luar kampung lagi.
Justru penjual kue keliling yang datang ke kampung mereka. Sejak dini hari sudah terlihat aktifitas produksi kue.
Sejak pukul 04:00, para penjual kue keliling sudah berjubel menunggu. Mereka menunggu kue mereka siap diedarkan. Untuk nama Kampung Kue, sejak 2010, resmi diresmikan sendiri oleh sang penggagas Choirul Mahpuduah. Semenjak itupula nama kampung pendatang itu berubah nama. Pemberian nama itu memang sengaja dilakukan sebagai bentuk brand awareness. Lewat kesepekatan warga, nama Kampung Kue makin diresmikan.
Jumlah produsen kue total 65 orang. Cakupan produsen tidak lagi menyebar di satu gang. Sudah mengular merembet ke gang- gang sekitarnya. Perputaran uang di tempat ini mencapai Rp.25 juta. Varian kue sudah mencapai 70 jenis, seperti onde- onde, lemper, terang bulan, tiwul, ketan, lapis, putri ayu, roti kukus, dan bermacam kue kering. Adapula nasi kuning kotakan seharga Rp.1000- Rp.3000. Pembelian juga termasuk untuk hajatan.
Ibu- ibu Kampung Kue juga sering dipanggil menjadi pembicara. Mereka mengajari cara pembuatan aneka kue enak. Honor dari kegiatan tersebut akan dimasukan ke kas kampung. Menurut suami Irul, Riyadi, yang menikahinya sejak 2001, yang dulunya juga buruh pabrik menyebut usaha mereka lebih menjanjikan. Lebih dari sekedar menjadi buruh pabrik perusahaan. Ia rela keluar perusahaan agar bisa membantu Irul membuat kue.
Sementara itu Irul sendiri masih aktif menjadi aktifis. Meski sibuk mengurusi Kampung Kue, dia tidak lupa akan vokalnya, bahkan diangkat menjadi ketua serikat pekerja rumahan. Sosok tepat untuk digambarkan sebagai pengusaha sosial. Menurutnya, makna dari Serikat Pekerja Rumahan, menyangkut dua karir yang digelutinya: Pertama, mengurusi pekerja rumahan seperti pembuat kue ini. Kedua ya pekerja buruh diluaran sana.