Usaha modal seratus ribu coba tiru pengusaha berikut. Geplak waluh Bu Nanik sudah melegenda tak sembarangan. Kisah bermula dari pasangan Pak Slamet (45) dan Ibu Nanik Daryanti, pesangan suami- istri yang ingin membuka usaha.
Jangan meremehkan kreatifitas orang. Terbukti dari kisah satu pasangan pengusaha UMKM ini. Dari buah waluh yang banyak dianggap enteng, ternyata bisa jadi usaha jutaan rupiah. Waluh bisa dijadikan sandaran kehidupan menuju kemapanan.
Usaha Kecil
Ketika kamu sedang melewati jalan raya di Salatiga- Kopeng pasti sering melihat buah labu teronggok di pinggiran jalan. Ketidak mampuan para petani mengolah buah labu menjadikan buah satu ini hanya dijual gelondongan, tanpa diolah lagi.
Jika dijual begitu saja maka buah labu harganya tidak menentu. Akibatnya, hasil panen para petani terkadang hanya tergeletak di pinggir jalan; menanti pembeli. Miris memang melihat nasib petani labu ini.
Suatu hari, seorang pria paruh baya bernama Slamet dipercayakan untuk menjadi penyuluh lapangan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Semarang. Berbekal pengalamannya di lapangan itulah, dia memiliki pemikiran seketika untuk mengembangkan usaha dengan memanfaatkan buah labu.
Usaha apa yang bisa memanfaatkan buah yang telah dianggap remeh tersebut. Memang di Kecamatan Getasan terutama sekitar Kopeng yang terletak di Lereng Gunung Merbabu, yang berketinggian 700- 1.300 meter di atas permukaan laut (dpl), sangatlah cocok untuk areal pertanian budidaya labu.
Makanya Slamet memutar otak biar labu tidak sia- sia. Dia menginginkan diversifikasi buah labu ini dapat berkembang dan terus meningkat.
“Harga labu memang labil. Pada bulan Maret-April saat musim tanam, harganya bisa mencapai Rp 1.200 per kg. Namun harga labu bisa jatuh mencapai Rp 600 per kg sewaktu panen. Malahan saat-saat tertentu harganya sangat rendah, yakni Rp 150/kg,” papar Nanik.
Awalnya memang coba- coba itulah yang diakui Bu Nanik sendiri (istri Pak Slamet). Dari usaha coba- coba tersebut justru hasilnya sangat memuaskan. Wanita paruh baya ini memulai dengan membuatnya untuk sajian lebaran saja.
Rupanya, geplak waluh diminati banyak pembeli. “Kami akhirnya mulai usaha pada 2003,” ujarnya. Apa yang dihasilkan oleh sepasang suami istri diakui lebih dari cukup. Bahkan penghasilannya bisa lebih dari gaji pegawai negeri sang suami!
Usaha modalnya seratus ribu buat membeli bahan baku: waluh, tepung terigu, gula pasir, dan kelapa. Waktu itu harga waluh berkisar Rp.200 per- kilo gram. Kini, harga sayur yang terkenal berkat tradisi Hallowen itu bisa mencapai harga Rp.700 ribu- 1.000 per- kilo gram -nya.
Bahkan, kalau sedang mahal- mahalnya nih, atau bisa sampai Rp.2- 3 ribu. “Kalau alat produksi, saya menggunakan alat-alat rumah tangga,” kata dia.
Ternyata menurut Bu Nanik, buah waluh itu bisa tahan lama disimpan. Geplak waluh Bu Nanik punya kelebihan.
“Kalau waluh tidak dibuka, dia bisa tahan selama setahun. Enak jadinya, bisa menyetok waluh. Kami tidak kewalahan mendapatkan bahan baku. Kami juga beli dari petani. Sekali beli, kami dapat empat ton waluh,” ujar Nanik.
Itulah alasan lain kenapa kedua suami- istri ini memilih bahan baku waluh. Kemudian bisnisnya ini diberinya nama “Geplak Waluh Bu Nanik” dan mempekerjakan hanya enam orang saja, termasuk dia sendiri.
Selain geplak, ibu ini ternyata juga memproduksi camilan seperti pia, egg roll, dan kuaci. Ada juga dodol waluh, wingko waluh, dan sirup waluh, semua serba waluh pokoknya.
“Misalnya geplak, waluh dikupas, dibersihkan, diparut, dicampur dengan gula dan kelapa, lalu dimasak. Prosesnya bisa mencapai empat jam untuk setiap kali pengolahan 15 kilogram geplak,” kata Nanik.
Harga produknya pun tak fantastis. Emping cuma harganya Rp15 ribu per 250 gram, gelek Rp20 ribu untuk kemasan 250 gram, dan pia isi sepuluh butir Rp15 ribu. Egg roll harganya Rp20 ribu, geplak Rp20 ribu, dan stik waluh harganya Rp15 ribu. Tetapi, kalau kuaci harganya Rp60 ribu per 1 kg
Meski enggan menyebut omzet per- bulannya, Bu Nanik menyebut persentase 20- 25 persen dari total biaya belanja bisa masuk kantong. Ia menyebut biaya pembelian bahan- bahan sekitar Rp.2,5 juta, jadi apabila dikalikan sebulan, ia bisa mengantongi omzet sekitaran Rp.18 juta.
Prospek Bisnis
Nanik menambahkan, bahwa kalo ramainya karena namanya bisnis terkadang tidak menentu. Lagipula uang tersebut bercampun uang kebutuhan keluarga tandasnya. Nanik mengaku geplaknya sangat laku di luar negeri.
Nanik juga mengklaim produknya sudah dibeli oleh orang- orang di luar Semarang, seperti dari Palu, Jakarta, dan Yogyakarta. Orang asing pun turut datang ke rumahnya untuk membeli produknya seperti dari Taiwan, China, Belanda, dan Filipina.
“Ada sepuluh orang dari Filipina yang datang ke rumah saya untuk magang,” kata dia.
Di Filipina sendiri, waluh tidak dijadikan barang dagangan, hanya dinikmati sendiri menjadi kue kukus. Dia mengaku menjual produknya disekitaran rumah saja. Dia juga tidak mematok minimal pembelian.
Bila ada pembeli luar yang ingin memesan produknya, boleh asalkan pembeli mau menanggung biaya pengiriman. Apabila mungkin anda tertarik bisa berkunjung ke rumahnya yang terletak di RT 07/RW 01, Getasan, Kecamatan Getasan, Semarang, Jawa Tengah.
Atau mengontak melalui email di geplakwaluhbunanik@yahoo.co.id atau segera mengunjungi blog miliknya di alamat geplakwaluh.wordpress.com.
Ada cerita menarik ketika Slamet mengikuti satu perlombaan di Universitas Diponegoro Semarang. Dia yang dibantu istrinya menyiapkan sekitar 10 kg geplak waluh untuk presentasi saja. Takut- takut jikalau terjadi insiden di tempat penjurian.
Dia belajar dari insiden sebelumnya ketika membuat makalah. Slamet yang meminta tolong temannya untuk memotret proses pembuatan. Namun, ternyata film negatif yang dipasang di kamera tersebut malah hangus semua, akhirnya harus dipotret ulang.
Total biaya lomba jadilah membengkak sampai 500 ribu, padahal uang itu bisa untung banyak jika dibikin geplak selorohnya.
“Total biaya untuk lomba sekitar Rp500.000. Istri saya sempat khawatir karena uang sebanyak itu hanya digunakan untuk lomba. Kalau digunakan untuk membuat geplak, pasti untungnya lebih jelas. Saya jelaskan kepada istri,kalaupun nanti kalah,yang penting produk kami sudah dikenal orang lain,” tutur Slamet.
Diruangan penjurian ada persaan grogi. Apalagi peserta lain memakai LCD untuk melakukan presentasi; Slamet hanya membacakan makalahnya di depan para juri. Setelah selesai, ia tekejut karena sampel yang dibawa dari rumah sudah ludes dimakan habis (10 kg tersebut).
Ia pun menang, meski hanya juara ketiga dan mendapatkan bantuan permodalan senilai Rp.1 juta. Yah, hasilnya memang tak sebesar yang bisa kita harapkan tapi ingat efek lainnya; geplak waluh jadi populer seperti sekarang.